menyajikan berbagai tulisan tentang pengetahuan umum dan gaya hidup

PACARAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM





Pacaran dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “pacar”, yang kemudian diberi akhiran–an. Pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih, dalam praktiknya, istilah pacaran dengan  tunangan sering dirangkai menjadi satu. Agaknya, pacaran di sini, dimaksudkan sebagai proses mengenal pribadi masing-masing, yang dalam Islam disebut dengan “Ta’aruf”(saling kenal-mengenal).

Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.

Tipe pacaran menurut Muhammad Muhyidin dalam bukunya “Pacaran Setengah Halal Setengah Haram” terbagi menjadi dua, yaitu :

Pacaran yang memperbodoh :  didefinisikan secara ringkas sebagai wujud dari pacaran yang menjadikan sepasang kekasih terjauhkan dari nilai-nilai moral agama (moralitas agama).

Secara lebih jelasnya, kita menemukan bahwa ternyata ada tiga maksud dari istilah pacaran yang memperbodoh diri menurut sudut pandang kita sebagai orang yang beriman, yaitu :

1. Pacaran yang ditandai dengan perilaku sepasang kekasih yang berkencan berdua-duaan hingga melakukan hal-hal yang terlarang.
2.  Pacaran yang menyebabkan para pecinta mengalami kerusakan secara psikis.
3.  Pacaran yang menyebabkan para pecinta mengalami kerusakan fisik.

Pacaran yang mencerdaskan adalah apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sedang terlibat hubungan asmara dan mereka bisa mencapai kebahagiaan, kenyamanan dan kedamaian karena menjadikan Allah SWT sebagai poros cinta mereka, yang menjadikan  Allah SWT sebagai pusat cinta, menjadikan keridhaan-Nya sebagai tujuan cinta, dan menjadikan cinta-Nya sebagai acuan untuk mengembangkan cinta di antara mereka.

Dengan cara demikian, para pecinta dan para kekasih yang dicinta tidak akan pernah merasakan gejolak jiwa yang justru membuat diri mereka sendiri celaka. Kerinduan, kecemasan, kekhawatiran, ketakutan dan sifat-sifat yang cenderung negatif lainnya sebagai sifat umum, yang dirasakan oleh para pecinta tidak akan membuat pecinta terluka oleh sebab yang dicinta tidak memenuhi harapannya.

Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati zina. Seperti tersebut dalam surat Al-Isra’ ayat 32 :

 وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS.17:32)

Nabi Muhammad Saw bersabda :

Hati-hatilah kamu untuk menyepi dengan wanita, demi zat yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, tidak ada seorang lelakipun yang menyendiri dengan wanita, melainkan setan masuk di antara keduanya. Demi Allah, seandainya seorang laki-laki berdesakan dengan batu yang berlumuran (lumpur/ lempeng hitam ) yang busuk adalah lebih baik baginya dari pada harus berdesakan dengan pundak wanita yang tidak halal.”(Diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam kitab Al-Mu’jam al-Kabir Juz VIII h.205 dan 7830).

Istilah pacaran secara harfiah tidak dikenal dalam Islam, karena konotasi dari kata ini lebih mengarah kepada hubungan pra-nikah yang lebih intim dari sekadar  media saling mengenal. Islam menciptakan aturan yang sangat indah hubungan lawan jenis yang sedang jatuh cinta, yaitu dengan konsep khithbah. Khithbah adalah sebuah konsep “pacaran berpahala” dari dispensasi agama sebagai media legal hubungan lawan jenis untuk saling mengenal sebelum memutuskan menjalin hubungan suami-istri. Konsep hubungan ini sangat dianjurkan bagi seseorang yang telah menaruh hati kepada lawan jenis dan bermaksud untuk menikah. Akan tetapi hubungan ini harus tetap terbingkai dalam nilai-nilai kesalehan, sehingga kedekatan hubungan yang bisa menimbulkan potensi fitnah sudah di luar konsep ini.

          Paparan di atas menunjukkan bahwa pacaran Islami itu sesungguhnya ada, jika yang dimaksud adalah penjajakan awal yang dilakukan dua orang calon pasangan suami istri. Tentu saja penjajakan tersebut dilakukan sekedar untuk mengetahui sifat-sifat kepribadian masing-masing tanpa melampaui norma-norma agama yang telah ditetapkan dalam ajaran suci. Sebaliknya, pacaran Islami bisa kita katakan tidak ada jika yang dimaksud adalah praktik mesum muda-mudi yang sering dilakukan dengan melampaui batas-batas ajaran agama.

Konsep Islam Mengatur Hubungan Sepasang Remaja Yang Sedang Jatuh Cinta


زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”(QS.3:14)
Redaksi di atas tegas menjelaskan bahwa dalam diri manusia telah ditanam benih-benih cinta yang sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Cinta dalam Islam tidak dilarang, karena ia berada di luar wilayah kendali manusia.
Agama tidak melarang seorang berkasih-kasihan dan bercinta, karena hal tersebut merupakan naluri makhluk. Hanya saja agama menghendaki kesucian dan ketulusan dalam hubungan itu, sehingga ditetapkannya pedoman yang harus diindahkan oleh setiap orang,  sehingga mereka tidak terjerumus di dalam fahisyah (zina dan kekejian lainnya). Sedangkan konsep Islam dalam mengatur hubungan antara sepasang remaja yang sedang jatuh cinta dan benar-benar telah berkeinginan untuk menikah adalah disunahkan segera menikah apabila sudah berhasrat serta calon suami mampu membayar mahar dan menafkahi. Prosedur yang dibenarkan bagi laki-laki yang sungguh-sungguh berkeinginan meminang seorang wanita untuk lebih mengenal dan mengetahui karakternya adalah sebagai berikut :

Ø Mengirim delegasi untuk menyelidiki  masing-masing pasangannya, dengan syarat delegasi tersebut harus adil, dapat dipercaya dan satu mahram atau satu jenis dengan calon yang diselidiki.

Ø Berbincang-bincang, duduk bersama namun harus disertai dengan mahramnya.

Ø Sebatas melihat  wajah dan telapak tangan saja (menurut syafi’iyah).

Ø Tidak ada keraguan atau prasangka akan ditolaknya lamarannya.

Rasulullah pernah bersabda dalam Riwayat Jabir  berikut ini :


اذا خطب احدكم المراة فان استطاع ان ينظر منها الى ما يدعو الى نكاحها فليفعل

“Jika di antara kalian ada yang meminang perempuan maka jika ia bisa melihat si perempuan sesuai yang ia butuhkan untuk dinikahinya, maka hendaklah ia melakukan hal itu.”

Selain langkah-langkah di atas, Nabi Saw., memberikan tips bagi seseorang yang hendak memilih pasangannya, yaitu mendahulukan pertimbangan keberagamaan daripada motif kekayaan, keturunan maupun kecantikan atau ketampanan.


Dr. Yûsuf Al-Qardhâwî (hafizhahullâh) memberikan 6 (enam) patokan hukum dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan, yaitu:

1. Menahan pandangan dari kedua-belah pihak. Artinya, tidak boleh melihat 'aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak lama-lama memandang tanpa keperluan, sebagaimana firman Allâh :

        قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَ يَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ........... 

Artinya :  "Katakanlah kepada orang-orang mumin laki-laki; hendaklah mereka menahan pandangan mata mereka dan memelihara kemaluannya................".(Surah An-Nûr (24):30)

Dan firman Allâh:

   وَ قُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنَ أَبْصَارِهِنَّ وَ يَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ..........

Artinya :  "Dan katakanlah kepada para mu'minât perempuan, agar mereka -- juga -- menahan pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka.......".(Surah An-Nûr (24):31)


2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntun syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan, jangan tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allâh berfirman :

           وَ لاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَ لْيَضْرِبْنَ بِخُمُوْرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ......

Artinya "...dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya...".        (Surah An-Nûr (24).

Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya, sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang yang melihatnya untuk menghormatinya.

3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal, terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki.

·  Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu dan membangkitkan rangsangan. Allâh berfirman :


    فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَ قُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا

 Artinya:  ".........Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik". (Surah Al-Ahzâb (33):32)

·  Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman Allâh:

             وَ لاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتَهِنَّ..........

Artinya :  ".....Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." (Surah An-Nûr (24):31)

· Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggang-lenggok, seperti yang disebutkan dalam hadits :


Artinya :"(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan (kema'shiatan)". (H.R. Ahmad dan Muslim)

Jangan sampai ber-tabaruj (menampakkan 'aurat) sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliyyah tempo dulu ataupun jahiliyyah modern.

4.  Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan dan di pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.

5.  Jangan berdua-duaan (laki-laki dan wanita) tanpa disertai mahram. Banyak hadits shahîh yang melarang hal ini seraya mengatakan, "Karena yang ketiga adalah syaithân".
          
Jangan berduaan sekali pun dengan kerabat suami atau isteri. Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:

Artinya :"Janganlah kalian masuk ke tempat wanita". Mereka (shahabat) bertanya: "Bagaimana dengan ipar wanita?". Beliau menjawab: "Ipar wanita itu membahayakan".(H.R. Al-Bukhârî)

Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau isteri dapat menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.

6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak.



DAFTAR PUSTAKA


Muhammad Muhyidin, (2008) Pacaran Setengah Halal dan Setengah Haram (Jogyakarta : Diva Press.

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah,…

Darul Azka dan M. Zainuri, 2006, Potret Ideal hubungan suami Istri,’Uqud al-Lujjayn  dalam disharmoni Modernitas dan Teks-teks Religious

Team Kodifikasi  Abiturien 2007, Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Pon-Pes Lirboyo Kediri.

 http://duriatku.blogspot.com   http://pecahanbeling.blogspot.com 

http://tuntunanagamaislam.blogspot.com/2012/12/adab-pergaulan-laki-laki-dan-wanita.html








0 komentar:

Post a Comment

berkomentarlah dengan bijak dan sesuai topik

PACARAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM