Tesis dasar Erich Fromm menyatakan bahwa manusia pada masa modern
ini telah terpisah dari kesatuan prasejarah mereka dengan alam dan juga satu
sama lain, namun memiliki kekuatan akal, antisipasi dan imajinasi. Paduan akan
kurangnya insting kebinatangan dan adanya pikiran rasional menjadikan manusia
sebagai suatu keganjilan dalam alam semesta.[1]
Fromm dapat digelari sebagai teoritisi kepribadian marxian karena
pandangannya sangat dipengaruhi oleh Karl Marx. Namun dia sendiri memilih nama
teorinya “ Humanis Dialektik” karena yang ingin dia tunjukkan adalah
perhatiannya terhadap perjuangan manusia yang tidak pernah menyerah untuk
memperoleh martabat dan kebebasan, dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia
untuk berhubngan dengan orang lain.[2]
Dengan latar belakang pendidikan ajaran psikoanalisis Freud dan
dipengaruhi oleh Karl Marx, Karin Horney dan teoretikus berorientasi sosial
lainnya, Fromm mengembangkan kepribadian yang menekankan pengaruh faktor
sosiobiologis, sejarah, ekonomi dan struktur kelas.[3]
Seperti juga pandangan teoritikus kepribadian lainnya pandangan
Erich Fromm akan sifat manusia terbentuk oleh pengalaman masa kecil mereka.
Bagi Froom, kehidupan warga yahudi, bunuh dirinya seorang wanita muda, dan
nasionalisme extrem bangsa Jerman berkostribusi dalam pemikirannya akan
kemanusiaan.
. A. Asumsi Dasar Fromm
Asumsi
dasar Fromm adalah bahwa kepribadian individu dapat dimengerti hanya dengan
memahami sejarah manusia. “diskusi mengenai keadaan manusia harus mendahulukan
fakta bahwa kepribadian, [dan] psikologi harus didasari oleh konsep
antropologis-filosofis akan keberadaan manusia” .
Fromm
(1947) percaya bahwa manusia, tidak seperti binatang lainnya, telah “tercerai
berai” dari kesatuan prasejarahnya dengan alam. Mereka tidak memiliki insting kuat untuk
beradaptasi dengan dunia yang berubah, melainkan mereka telah memperoleh
kemampuan bernalar- keadaan yang disebut Fromm sebagai dilema manusia. Manusia mengalami
dasar ini karena mereka telah terpisah dengan alam, namun memiliki kemampuan
untuk menyadari bahwa diri mereka telah menjadi makhluk yang terasing. Oleh
karenanya, kemampuan bernalar manusia adalah anugerah dan juga kutukan. Di satu
sisi, kemampuan ini membiarkan manusia bertahan, namun disisi lain, hal ini
memaksa manusia berusaha untuk menyelesaikan dikotomi dasar yang tidak ada
jalan keluarnya. Fromm menyebut hal tersebut sebagai “dikotomi eksistensial” (existensial
dichotomies) karena hal ini berakar dari keberadaan atau eksistensi manusia.
Manusia tidak menghapuskan dikotomi eksistensial ini. Mereka hanya bisa
bereaksi terhadap dikotomi ini tergantung pada kutur dan kepribadian
masing-masing individu.[4]
Dikotomi
pertama dan paling fundamental adalah antara hidup dan mati. Realisasi diri dan
nalar mengatakan bahwa kita akan mati, namun kita berusaha mengingkari hal ini
dengan menganggap adanya kehidupan setelah kematian, usaha yang tidak merubah
fakta bahwa hidup kita kan diakhiri dengan kematian.
Sikotom
eksistensial kedua dalah bahwa manusia mampu membentuk konsep tujuan dar
realisasi diri utuh, namun kita juga menyadari bahwa hidup terlalu singkat
untuk mencapai tujuan itu.
Dikotomi
eksistensial ketiga adalah bahwa manusia pada akhirnya hanya sendiri, namun
kita tetap tidak bisa menerima pengucilan atau isolasi.[5]
B. Kebutuhan Manusia
Pada
umumnya kata “kebutuhan” diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm
dipandang sebagai kebutuhan aspek kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan
makan, minum,seks, dan bebas dari rasa sakit. Kebutuhan manusia dalam arti
kebutuhan sesuai dengan eksitensinya sebagai manusia, menurut Fromm meliputi
dua kelompok kebutuhan; pertama kebutuhan untuk menjadi bagian dari sesuatu dan
menjadi otonom, yang terdiri dari kebutuhan keterhubungan, keberakaran,menjadi
pencipta,kesatuan, identitas. Kedua, kebutuhan memahami dunia, mempunyai
tujuan dan memanfaatkan sifat unik manusia, yang terdiri dari kebutuhan frame
of orientation, frame of devotion, excitation, stimulation, dn effectiviness.[6]
a.
Kebutuhan Kebebasan dan Keterikatan
- 1 Keterhubungan
Kebuthan mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari alam
dan dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung dengan makhluk lain yang dicintai, menjadi bagian dari sesuatu.
Keinginan irasional untuk mempertahankan hubungannya yang pertama yakni
hubungannya dengan ibu, kemudian diwujudkan kedalam perasaan solidaritas dengan
orang lain. Hubungan paling memuaskan bisa positif yakni hubungan yang
didasarkan pada cinta, perhatian, tanggung jawab, penghargaan, dan pengertian
dari orang lain, bisa negatif yakni hubungan yang didasarkan pada kepatuhan
atau kekuasaan.
2.
Keberakaran
( rootedness)
Kebutuhan keberakaran adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan
yang membuatnya merasa krasan di dunia (merassa seperti dirumahnya). Manusia
menjadi asing dengan dunianya karena dua alasan; pertama, dia direnggut dari
akar-akar hubungannya oleh situasi (ketika manusia dilahirkan, dia menjadi sendirian
dan kehilangan ikatan alaminya), kedua, fikiran dan kebebasan yang
dikembangkannya sendiri justru memutus ikatan alami dan menimbulkan perasaan
isolasi / tak berdaya.
3.
Menjadi
pencipta (transcendency)
Orang ingin mengatasi perasaan takut dan ketidakpastian menghadapi
kemarahan dan ketak-menentuan semesta. Orang membutuhkan peningkatan diri,
berjuang untuk mengatasi sifat pasif dikuasai alam menjadi aktif, bertujuan dan
bebas, berubah dari makhluk ciptaan menjadi pencipta.
4.
Kesatuan
(unity)
kebutuhan untuk mengatasi eksistensi keterpisahan antara hakekat
binatang dan non binatang dalam diri seseoarang. Keterpisahan, kesepian, dan
isolasi semuanya bersumber dari kemandirian dan kemerdekaan “untuk apa orang
mengejar kemandirian dan kemerdekaan kalau hasilnya justru kesepian dan
isolasi?” dari dilema ini muncul kebutuhan unitas. Orang dapat mencapai unitas,
memperoleh kepuasan (tanpa menyakiti orang lain dan diri sendiri) kalau hakikat
kebinatangan dan kemanusiaan itu bisa didamaikan, dan hanya dengan berusaha untuk
menjadi manusia seutuhnya, melalui berbagi cinta dan kerjasama dengan orang
lain.
5.
Identitas
(identity)
Kebutuhan untuk menjadi “aku,” kebutuhan untuk sadar dengan dirinya
sendiri sebagai sesuatu yang terpisah. Manusia harus merasakan dan dapat mengontrol
nasibnya sendiri, harus bisa membuat keputusan, dan merasa bahwa hidupnya
nyata-nyata miliknya sendiri.
b.
Kebutuhan
Untuk Memahami dan Beraktivitas
1.
Kerangka
orientasi (frame of orientation)
Orang
membutuhkan peta mengenai dunia sosial dan dunia alaminya, tanpa peta itu dia
akan bingung dan tidak mampu bertingkah laku, dan kerangka orientasi adalah
seperangkat keyakinan mengenai eksistensi hidup, perjalanan hidup bagaimana
yang harus dikerjakannya, yang mutlak dibutuhkannya untuk memperoleh kesehatan
jiwa.
2.
Kerangka
kesetiaan (frame of devotion)
Kebutuhan
untuk memiliki kebutuhan hidup yang mutlak; tuhan. Kerangka pengabdian adalah
peta yang mengarahkan pencarian makna hidup, menjadi dasa dari nilai-nilai dan
titik puncak dari semua perjuangan.
3.
Stimulasi
Kebutuhan
untuk melatih sistem syaraf, untuk memanfaatkan kemampuan otak. Manusia
membutuhkan bukan sekedar stimulus sederhana(misalnya: puisi atau hukum
fisiska).
4.
Keefektivan
(effectivity)
Kebutuhan
untuk menyadari eksistensi diri, melawan perasaan tidak mampu dan melatih
kompetensi/ kemampuan.[7]
C.
Beban
Kebebasan
Tesis
utama dari setiap tulisan-tulisan Fromm adalah bahwa manusia telah terpisah
dari alam, namun tetapi menjadi bagian dari alam semesta, subjek bagi
batasan-batasan fisik sebagai hewan lain. Sebagai satu-satunya hewan yang
memiliki kesadaran diri, imajinasi, dan akal pikiran, manusia adalah “suatu
keganjilan dalam alam semsta “ (Fromm, 1955, hal 23).
Menurut
sejarah, seiring manusia semakin memperoleh kebebasan ekonomi dan politik,
mereka semakinn merasa terasing. Contohnya, selama abad pertengahan manusia
memiliki kebebasan pribadi yang terbatas. Mereka terkurung peran yang diberikan
oleh masyarakat, peran yang menyediakan rasa aman, tempat bergantung, dan
kepastian. Kemudian, setelah mereka mendapatkan kebebasan untuk bergerak
secara sosial dan geografis, mereka paham bahwa mereka bebas dari rasa
aman saat beradadekat dengan ibunya. Ditingkat sosial dan individu, beban ini
menciptakan kecemasan dasar (basic anxiety), yaitu perasaan bahwa kita sendirian
di dunia.
o Mekanisme Pelarian
Oleh karena kecemasan dasar menghasilkan rasa keterasingan dan
kesendirian yang menakutkan, maka manusia berusaha untuk lari dari kebebasan
melalui berbagai macam mekanisme pelarian. Fromm menyebutkan tiga mekanisme
dasar dari pelarian yaitu :[8]
1.
Authoritarianism
Fromm (1941) mendefinisikan authoritarianism sebagai
“kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian seseorang secara individu dan
meleburkannya dengan seseorang atau sesuatu diluar dirinya demi mendapatkan
kekuatan yang tidak dimilikinya”. Kebutuhan untuk bersatu dengan mitra yang
kuat ini dapat berupa dua hal: masokisme atau sadisme. Masokisme timbul dari
rasa ketidakberdayaan, lemah,serta rendah diri dan bertujuan untuk
menggubungkan diri dengan orang atau institusi yang lebih kuat. Usaha masokis
sering berkedok sebagai cinta atau kesetian, namun berbeda dengan cinta dan
kesetiaan, usaha tersebut tidak akan berkontribusi secara positif pada
kemandirian dan otentisitas. Dibandingkan dengan masokisme, sadisme lebih
neurotik dan lebih berbahaya secara sosial.
2.
Sifat
Merusak
Sifat merusak berasal dari perasaan kesendirian, keterasingan, dan
ketidak berdayaan. Namun berbeda dengan sadisme dan masokisme, sifat merusak
tidak bergantung pada hubungan berkesinambungan dengan orang lain; melainkan
mencari jalan untuk menghilangkan orang lain.
3.
Konformitas
Orang yang berusaha melakukan konformitas berusaha melarikan diri
dari rasa kesendirian dan keterasingan dengan menyerahkan individualitas mereka
menjadi apapun yng orang lain inginkan.
D.
Orientasi Karakter
Dalam
teori Fromm, kepribadian tercermin pada orientasi karakter seseorang, yaitu
cara relatif manusia yang permanen untuk berhubungan dengan orang atau hal
lain. Fromm (1947) mendefinisikan kepribadian sebagai “keseluruhan kualitas
psikis yang diwarisi dan diperoleh yang merupakan karakteristik individu dan
menjadikannya individu yang unik.
[1]
Jess Feitst, Gregory J Feist,
penerjemah:Hariandrianto, teori kepribadian edisi 7, salemba humanika,
jakarta selatan, 2009, hal 224
[2]Psikologi
kepribadian edisi revisi, UMM press, 2014, hal 121
[3]Ibid,
hal 224
[4]
Jess Feitst, Gregory J Feist,
penerjemah:Hariandrianto, teori kepribadian edisi 7, salemba humanika, jakarta
selatan, 2009, hal 228
[5]
Jess Feitst, Gregory J Feist,
penerjemah:Hariandrianto, teori kepribadian edisi 7, salemba humanika,
jakarta selatan, 2009, hal 229
[6]
Psikologi kepribadian edisi revisi, UMM press,2014 hal 123
[7]
Psikologi kepribadian edisi revisi, UMM press, 2014, hal 124
[8]
Jess Feitst, Gregory J Feist,
penerjemah:Hariandrianto, teori kepribadian edisi 7, salemba humanika,
jakarta selatan, 2009, hal
0 komentar:
Post a Comment
berkomentarlah dengan bijak dan sesuai topik