PRASANGKA SOSIAL, STEREOTIP, DAN DISKRIMINASI
Prasangka: Wujud Dari Ketiadaan Toleransi
Prasangka (prejudice) adalah sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama ( biasanya secara negatif ) semata karena mereka anggota kelompok tersebut.
Ketika prasangka didefinisikan sebagai tipe khusus dari sikap, dua implikasi mengikutinya.
Ø Pertama, sikap sering kali berfungsi sebagai skema (schemas)- kerangka pikir kognitif untuk mengorganisasi, menginterpretasi,mengambil informasi (contoh Wyer & scrull, 1994). Maka, individu yang memiliki prasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu cenderung memproses informasi tentang kelompok ini secara berbeda dari cara mereka memproses informasi tentang kelompok lain. Sebagai contoh, informasi yang berhubungan dengan prasangka serring kali diberi perhatian lebih, atau diproses secara hati-hati, daripada informasi yang tidak berhubungan dengan hal tersebut.
Ø Kedua, sebagai sebuah sikap, prasangka juga melibatkan perasaan negatif atau emosi pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka hadir atau hanya dengan memikirkan anggota kelompok yang tidak mereka sukai (bodenhausen, kramer& susser, 1997).
Prasangka juga dapat dilakukan secara implisit- prasangka dapat dipicu secara otomatis dengan mendatangkan anggota kelompok yang akan ditujukan prasangka, dan dapat mempengaruhi tingkah laku yang muncul bahkan ketika orang yang bersangkutan, pada umumnya, tidak menyadari eksistensi dari pandangan tersebut dan mungkin berusaha menyangkalnya bahwa orang lain memiliki pandangan itu (contoh Fazio Dkk, 1995; Fazio & Hilden, 2001). Seperti sikap lainnya, prasangka juga melibatkan keyakinan dan harapan terhadap anggota berbagai kelompok- sebagai contoh keyakinan bahwa semua anggota dari kelompok-kelompok ini menunjukkan trat-trait tertentu.
Diskiriminasi : Perwujudan Prasangka Dalam Tingkah Laku
Dalam berbagai kasus, orang yang memiliki sikap negatif terhadap anggota beberapa kelompok tidak dapat mengekspresikan pandangan mereka secara langsung. Hukum, tekanan sosial, dan ketakutan akan dikucilkan-semua berfungsi untuk mencegah orang menampilkan pandangan prasangkanya di depan umum. Untuk alasan ini, bentuk diskriminasi yang jelas (discrimination )- aksi negatif terhadap objek prasangka rasial, etnis, atau agama,- telah menurun dalam tahun-tahun terakhir ini di Amerika serikat dan banyak negara lain (contoh sein dkk 1995). Maka, aksi seperti membatasi tempat duduk bagi anggota kelompok-kelompok tertentu di bus atau bioskop atau membatasi mereka di restoran umum, sekolah atau lingkungan-yang umum terjadi pada masa lalu-sekarang pada umumnya sudah tidak berlaku lagi di berbagai negara. Akan tetapi, hal ini tidak berarti ekspresi ekstrem prasangka telah hilang secara total. Sebaliknya, contoh-contoh dramatis kriminalitas berdasarkan kebencian (hate crimes)- kriminalitas yang berdasar pada prasangka rasial, etnis, dan tipe prasangka lainnya terus berlangsung dengan frekuensi mengganggu.
Sumber Prasangka : Perbedaan Pandangan
Seperti yang pernah kita lihat, memiliki pandangan negatif yang tampaknya irasional, yang membentuk akar prasangka dapat menguntungkan bagi orang yang memilikinya.
Konflik langsung antar kelompok : Kompetisi sebagai sumber prasangka dan teori konflik realistik menurut pandangan ini prasangka berakar dari kompetsi antar kelompok sosial untuk memperoleh komonitas berharga atau kesempatan. Pendeknya prasangka berkembang dari perjuangan untuk memperoleh pekerjaan perumahan yang layak, sekolah yang baik, dan hasil lain yang diinginkan. Teori tersebut lebih jauh lagi menyatakan bahwa kompetisi seperti itu terus berlanjut, anggota kelompok yang terlibat didalamnya mulai memandang satu sama lain dalam pandangan negatif yang terus meningkat ( white, 1977). Mereka memberi label “musuh”, memandang kelompok mereka sendiri superior secara moral, dan menarik garis batas antara mereka dan lawan mereka lebih tegas. Hasilnya, apa yang dmulai dari kompetisi sederhana yang relatif bebas dari rasa benci berkembang secara bertahap dalam skala penuh, prasangka dengan dasar emosi.
Pendukung Osama Bin Laden, sebagai contoh, mempersepsikan Amerika Serikat (dan semua bangsa Barat) mengacam kebudayaan dan agama mereka. Hasilnya, mereka cenderung “mempersetankan” Amerika Serikat dan percaya bahwa setiap aksi yang ditujukan untuk melemahkan atau menghancurkannya bahkan membunuh penduduk sipil yang tidak berdosa adalah hal yang benar.
Sumber Kognitif Prasangka: Stereotip, Ekplisit, Dan Implisit
Stereotip adalah kerangka berfikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota dari kelompok ini (Judd, Riyan, dan Parke 1991). Dengan kata lain stereotip menyatakan bahwwa setiap orang yang menjadi anggota kelompok sosial tertentu memiliki trait-trait tertentu, setidaknya pada derajat tertentu.
Stereotip memberikan efek kuat pada bagaimana kita memproses informasi sosial. Informasi yang relevan dengan stereotip yang diaktifkan sering kali diproses dengan lebih cepat dan diingat lebih baik, dari pada informasi yang tidak berhubungan dengan hal tersebut (contoh, dovido, evans, & tyler, 1986; macrae dkk, 1997). Serupa dengan hal tersebut, stereotip mendorong seseorang memperhatikan jenis-jenis informasi tertentu- khususnya, informasi yang konssten dengan streotip tersebut. Dan ketika informasi itu tidak konsisten dengan stereotip yang disadari, maka seseorang secara aktif menolak atau sedikit mengubahnya sehingga tampaknya konsisten dengan stereotip tersebut (Kunda & Olesen, 1995; O’Sullivan & Durso, 1984 ).
Sebagai contoh, hasil penelitian mengindikasikan bahwa ketka kita menghadapi seseorang yang merupakan anggota dari sebuah kelompok yang kita berikan stereotip, dan orang ini tampaknya tidak sesuai dengan denga stereotip tersebut (contoh, orang dari kelompok minoritas yang cerdas dan sopan), kita tidak serta merta mengubah stereotip kita. Akan tetapi, lebih menempatkan orang tersebut dalam ategori khusus atau berbeda yang terdiri dari orang-orang yang tidak sama dengan skema atau stereotip yang ada (contoh, Richards & Hewstone, 2001).
Reaksi terhadap informasi yang tidak konsisten dengan stereotip adalah membuat kesimpulan implisit yang mengubah arti informasi tersebut dengan membuatnya konsisten dengan stereotip (contoh, Kunda & Sherman-Williams, 1993). Dengan kata lain, kita mengubah arti informasi di dalam pikiran kita atau menarik kesimpulan tentang hal tersebut dan membuatnya sesuai dengan stereotip yang kita miliki.
Stereotip Implisit : Ketia Keyakinan Yang Kita Tidak Sadari Mempengaruhi Tingkah Laku Kita
Seperti yang telah dinyatakan Greenwald dan Banaji (1995), kita sering kali memiliki stereotip implisit yang tidak dapat kita identifikasi dengan mudah melalui intropeksi, tetapi tetap mempengaruhi keyakinan kita tentang karakteristik yang dimiliki oleh anggota dari kategori sosial tertentu. Dengan kata lain, stereotip rasial, etnis, atau gender yang sebagian besar tidak kita sadari dapat diaktivasi oleh berbagai stimuli (contoh, anggota kelompok yang memiliki stereotip).
Setelah mereka diaktivasi, stereotip ini mempengaruhi pemikiran, keputusan, dan bahkan tingkah laku yang muncul pada orang tersebut. Cara lain dikembangkan oleh Banji dan Hardin (1996) dan juga meggunakan cara ‘priming’. Dalam prosedur ini, partisipan secara tak sadar atau pada tingkat subliminal dipaparkan pada stimulus dasar (prime)- stimulus ini disajikan dalam periode waktu yang singkat sehingga partisipan tidak dapat mengenali atau mengindentifikasikan mereka, yang penting tentang stereotip adalah kita mungkin tidak menyadari kenyataan bahwa stereotip bekerja, tetapi mereka tetap kuat mempengaruhi penilaian kita atau keputusan kita tentang orang lain, atau bahkan bagaimana kita berinteraksi dengan mereka. Secara khusus, bukti yang berkembang menyatakan bahwa stereotip implisit dapat menjadi prediktor yang lebih baik terhadap ekspresi spontan yang bias atau halus daripada pengukuran eksplisit yang diperoleh melalui kuesioner sikap atau –self-report yang lain (contoh, Dovidio, dkk, 1997). Jelas, bahwa stereotip implisit adalah sesuatu yang harus kita perhatikan dalam usaha kita memahami sifat dasar prasangka dan diskriminasi.
Prasangka: Wujud Dari Ketiadaan Toleransi
Prasangka (prejudice) adalah sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama ( biasanya secara negatif ) semata karena mereka anggota kelompok tersebut.
Ketika prasangka didefinisikan sebagai tipe khusus dari sikap, dua implikasi mengikutinya.
Ø Pertama, sikap sering kali berfungsi sebagai skema (schemas)- kerangka pikir kognitif untuk mengorganisasi, menginterpretasi,mengambil informasi (contoh Wyer & scrull, 1994). Maka, individu yang memiliki prasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu cenderung memproses informasi tentang kelompok ini secara berbeda dari cara mereka memproses informasi tentang kelompok lain. Sebagai contoh, informasi yang berhubungan dengan prasangka serring kali diberi perhatian lebih, atau diproses secara hati-hati, daripada informasi yang tidak berhubungan dengan hal tersebut.
Ø Kedua, sebagai sebuah sikap, prasangka juga melibatkan perasaan negatif atau emosi pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka hadir atau hanya dengan memikirkan anggota kelompok yang tidak mereka sukai (bodenhausen, kramer& susser, 1997).
Prasangka juga dapat dilakukan secara implisit- prasangka dapat dipicu secara otomatis dengan mendatangkan anggota kelompok yang akan ditujukan prasangka, dan dapat mempengaruhi tingkah laku yang muncul bahkan ketika orang yang bersangkutan, pada umumnya, tidak menyadari eksistensi dari pandangan tersebut dan mungkin berusaha menyangkalnya bahwa orang lain memiliki pandangan itu (contoh Fazio Dkk, 1995; Fazio & Hilden, 2001). Seperti sikap lainnya, prasangka juga melibatkan keyakinan dan harapan terhadap anggota berbagai kelompok- sebagai contoh keyakinan bahwa semua anggota dari kelompok-kelompok ini menunjukkan trat-trait tertentu.
Diskiriminasi : Perwujudan Prasangka Dalam Tingkah Laku
Dalam berbagai kasus, orang yang memiliki sikap negatif terhadap anggota beberapa kelompok tidak dapat mengekspresikan pandangan mereka secara langsung. Hukum, tekanan sosial, dan ketakutan akan dikucilkan-semua berfungsi untuk mencegah orang menampilkan pandangan prasangkanya di depan umum. Untuk alasan ini, bentuk diskriminasi yang jelas (discrimination )- aksi negatif terhadap objek prasangka rasial, etnis, atau agama,- telah menurun dalam tahun-tahun terakhir ini di Amerika serikat dan banyak negara lain (contoh sein dkk 1995). Maka, aksi seperti membatasi tempat duduk bagi anggota kelompok-kelompok tertentu di bus atau bioskop atau membatasi mereka di restoran umum, sekolah atau lingkungan-yang umum terjadi pada masa lalu-sekarang pada umumnya sudah tidak berlaku lagi di berbagai negara. Akan tetapi, hal ini tidak berarti ekspresi ekstrem prasangka telah hilang secara total. Sebaliknya, contoh-contoh dramatis kriminalitas berdasarkan kebencian (hate crimes)- kriminalitas yang berdasar pada prasangka rasial, etnis, dan tipe prasangka lainnya terus berlangsung dengan frekuensi mengganggu.
Sumber Prasangka : Perbedaan Pandangan
Seperti yang pernah kita lihat, memiliki pandangan negatif yang tampaknya irasional, yang membentuk akar prasangka dapat menguntungkan bagi orang yang memilikinya.
Konflik langsung antar kelompok : Kompetisi sebagai sumber prasangka dan teori konflik realistik menurut pandangan ini prasangka berakar dari kompetsi antar kelompok sosial untuk memperoleh komonitas berharga atau kesempatan. Pendeknya prasangka berkembang dari perjuangan untuk memperoleh pekerjaan perumahan yang layak, sekolah yang baik, dan hasil lain yang diinginkan. Teori tersebut lebih jauh lagi menyatakan bahwa kompetisi seperti itu terus berlanjut, anggota kelompok yang terlibat didalamnya mulai memandang satu sama lain dalam pandangan negatif yang terus meningkat ( white, 1977). Mereka memberi label “musuh”, memandang kelompok mereka sendiri superior secara moral, dan menarik garis batas antara mereka dan lawan mereka lebih tegas. Hasilnya, apa yang dmulai dari kompetisi sederhana yang relatif bebas dari rasa benci berkembang secara bertahap dalam skala penuh, prasangka dengan dasar emosi.
Pendukung Osama Bin Laden, sebagai contoh, mempersepsikan Amerika Serikat (dan semua bangsa Barat) mengacam kebudayaan dan agama mereka. Hasilnya, mereka cenderung “mempersetankan” Amerika Serikat dan percaya bahwa setiap aksi yang ditujukan untuk melemahkan atau menghancurkannya bahkan membunuh penduduk sipil yang tidak berdosa adalah hal yang benar.
Sumber Kognitif Prasangka: Stereotip, Ekplisit, Dan Implisit
Stereotip adalah kerangka berfikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota dari kelompok ini (Judd, Riyan, dan Parke 1991). Dengan kata lain stereotip menyatakan bahwwa setiap orang yang menjadi anggota kelompok sosial tertentu memiliki trait-trait tertentu, setidaknya pada derajat tertentu.
Stereotip memberikan efek kuat pada bagaimana kita memproses informasi sosial. Informasi yang relevan dengan stereotip yang diaktifkan sering kali diproses dengan lebih cepat dan diingat lebih baik, dari pada informasi yang tidak berhubungan dengan hal tersebut (contoh, dovido, evans, & tyler, 1986; macrae dkk, 1997). Serupa dengan hal tersebut, stereotip mendorong seseorang memperhatikan jenis-jenis informasi tertentu- khususnya, informasi yang konssten dengan streotip tersebut. Dan ketika informasi itu tidak konsisten dengan stereotip yang disadari, maka seseorang secara aktif menolak atau sedikit mengubahnya sehingga tampaknya konsisten dengan stereotip tersebut (Kunda & Olesen, 1995; O’Sullivan & Durso, 1984 ).
Sebagai contoh, hasil penelitian mengindikasikan bahwa ketka kita menghadapi seseorang yang merupakan anggota dari sebuah kelompok yang kita berikan stereotip, dan orang ini tampaknya tidak sesuai dengan denga stereotip tersebut (contoh, orang dari kelompok minoritas yang cerdas dan sopan), kita tidak serta merta mengubah stereotip kita. Akan tetapi, lebih menempatkan orang tersebut dalam ategori khusus atau berbeda yang terdiri dari orang-orang yang tidak sama dengan skema atau stereotip yang ada (contoh, Richards & Hewstone, 2001).
Reaksi terhadap informasi yang tidak konsisten dengan stereotip adalah membuat kesimpulan implisit yang mengubah arti informasi tersebut dengan membuatnya konsisten dengan stereotip (contoh, Kunda & Sherman-Williams, 1993). Dengan kata lain, kita mengubah arti informasi di dalam pikiran kita atau menarik kesimpulan tentang hal tersebut dan membuatnya sesuai dengan stereotip yang kita miliki.
Stereotip Implisit : Ketia Keyakinan Yang Kita Tidak Sadari Mempengaruhi Tingkah Laku Kita
Seperti yang telah dinyatakan Greenwald dan Banaji (1995), kita sering kali memiliki stereotip implisit yang tidak dapat kita identifikasi dengan mudah melalui intropeksi, tetapi tetap mempengaruhi keyakinan kita tentang karakteristik yang dimiliki oleh anggota dari kategori sosial tertentu. Dengan kata lain, stereotip rasial, etnis, atau gender yang sebagian besar tidak kita sadari dapat diaktivasi oleh berbagai stimuli (contoh, anggota kelompok yang memiliki stereotip).
Setelah mereka diaktivasi, stereotip ini mempengaruhi pemikiran, keputusan, dan bahkan tingkah laku yang muncul pada orang tersebut. Cara lain dikembangkan oleh Banji dan Hardin (1996) dan juga meggunakan cara ‘priming’. Dalam prosedur ini, partisipan secara tak sadar atau pada tingkat subliminal dipaparkan pada stimulus dasar (prime)- stimulus ini disajikan dalam periode waktu yang singkat sehingga partisipan tidak dapat mengenali atau mengindentifikasikan mereka, yang penting tentang stereotip adalah kita mungkin tidak menyadari kenyataan bahwa stereotip bekerja, tetapi mereka tetap kuat mempengaruhi penilaian kita atau keputusan kita tentang orang lain, atau bahkan bagaimana kita berinteraksi dengan mereka. Secara khusus, bukti yang berkembang menyatakan bahwa stereotip implisit dapat menjadi prediktor yang lebih baik terhadap ekspresi spontan yang bias atau halus daripada pengukuran eksplisit yang diperoleh melalui kuesioner sikap atau –self-report yang lain (contoh, Dovidio, dkk, 1997). Jelas, bahwa stereotip implisit adalah sesuatu yang harus kita perhatikan dalam usaha kita memahami sifat dasar prasangka dan diskriminasi.
0 komentar:
Post a Comment
berkomentarlah dengan bijak dan sesuai topik