HADHANAH
(mengasuh anak)
Disusun oleh zatul muna
Disusun oleh zatul muna
A.
Pengertian
Hadhanah
berasal dari kata “ Hidhan” artinya lambung, dan seperti kata : Hadhanah
ath-thaaru baidhahu, artinya burung itu mengempit telur di bawah sayapnya.
Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengepit anaknya.
Para
ahli fiqh mendefinisikan “hadhanah” ialah: “Melakukan pemeliharaan anak-anak
yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi
belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari
sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya
agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya”.
Mengasuh
anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib. Sebab mengabaikannya berarti
menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebiasaan.
Dalam
istilah fiqh digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama yaitu
kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kaffalah dalam arti
sederhana ialah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap
adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan.
Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan istri
telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah atau
ibunya.
B.
Syarat-syarat
hadhanah
Seorang
hadhinah (ibu asuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil
yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan
kecakapan yng memerlukan syarat-syarat
tertentu . jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan
menyelenggarakanhadhanahnya.
Syarat-syarat
itu ialah
1. Berakal
sehat, jadi bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak boleh
menangani hadhanah.
Karena
mereka ini tidak dapat mengurusi dirinya sendiri. Sebab itu ia tidak boleh
diserahi mengurusi orang lain. Sebab orang yang tidak punya apa-apa tentulah ia
tidak dapat memberi apa-apa kepada orang lain
2. Dewasa,
sebab anak kecil sekalipun mumayyiz, tetapi tidak tetap membutuhkan orang lain
yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya. Karena itu dia tidak boleh menangani
urusan orang lain
3. Mampu
mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengauh orang yang buta atau rabun,
sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya unruk mengurus kepentingan
anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri perlu diurus, buka
orng yang mengabaikan urusan rumahnya sehingga merugikan anak kcil yang
diurusnya, atau bukan orang, yang tinggal bersama orang yang sakit menular atau
bersama orang yang suka marah kepada anak-anak, sekalipun kaerabat anak kecil
itu sendiri, sehingga akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan
kepentingan si anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang tidak baik
4. Amanah
dan berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat
dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan nantinya si
anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.
Persyaratan
seperti ini sangatlah sukar dipenuhi.kalaulah hadhin (pengasuh) diisyaratkan
harus adil, tentu banyak anak-anak didunia ini yang terlantar, bertambah besar
kesulitan bagi umat, bertambah payah lagi pengurusnya, bahkan sejak islam
timbul sampai datangnya kiamat nanti kebnyakan anak adalah durjana, yang tidak
seorangpun didunia ini yang bisa mencgah mereka, karena mereka yang durjana ini
justru jumlahnya sangat terbesar. Dan kapankah islam perna mencabut anak dari
asuhan ibu bapaknya atau salah seorang dari mereka ini, karena kedurhakaan (
kecurangannya). Hal ini tentu bisa memberatkan dan menyusahkan. Dan praktek
yang berlangsung sambung-menyambung selama ini pada semua negeri dan masa
bertentangan dengan syarat “adil”.
Ini
berbeda dengan dengan syarat “adil” dalam soal wali perkawinan. Dalam hal ini
memang begitulah yang telah berjalan selama-lamanya pada berbagai negeri dan
sepanjang masa, berbagai desa dan kampung, padahal kebanyakan dari wali-wali
perkawinan ini adalah orang-orang durhaka (fasik). Bahkan selamanya orang-orang
fasik ini selalu ada di antara manusia ini.
5. Islam;
anak kecil muslim tidak boleh di asuh oleh pengasuh yang bukan muslim. Sebab
hadhanah merupan masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan orang
mukmin di bawah perwalian orang kafir.
Allah
SWT berfirman:
“...
Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir menguasai orang-orang mukmin...”
(An-Nisa’:141)
Jadi
hadhanah seperti perwalian dalam perkawinan atau harta benda. Dan juga di
takutkan bahwa anak kecil yang di asuhnya itu akan di besarkan dengan agama pengasuhnya, dididik dengan tradisi agamanya. Sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan agamanya ini. Hal ini merupkan bahaya paling
besar bagi anak tersebut.
“setiap
anak dilahirkan dalam fitrah. Hanya ibu bapaknyalah yang menjadikan mereka
Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”
Abu
Daud dan Nasa’i meriwayatkan:
Golongan
Hanafi sekalipun menganggap orang kafir boleh menangani hadhanah akan tetapi mereka
juga menetapkan syarat-syaratnya, ialah Bukan kafir murtad.
Sebab
orang kafir murtad menurut golongan hanafi berhak di penjarakan, sehingga ia Tobat,
dan kembali keada islam, atau mati dalam penjara. Karena itu ia tidak di
beri kesempatan untuk mengasuh anak kecil . tetapi kalau
ia sudah tobat dan kembali kepada islam, maka hak hadhananya kembali
juga .
6. Ibunya
belum kawin lagi: jika si ibu telah kawin lagi dengan laki- laki lain maka hak
hadhananya hilang.
Dalam hal ini berdasarkan hadis nabi SAW ;
Dari
abdullah bin Amr: bahwa ada seseorang perempuan berkata:”ya Rasullulah!
Sesungguhnya anak ku laki-laki ini
perutku yang jadi bejananya, lambung ku yang jadi pelindungnya dan air
susu ku yang jadi minumannya. tiba-tiba sekarang ayahnya mau mencabutnya dariku”. Maka
rasullulah SAW lalu bersabdah;”Engkau lebih berhak terhadapnya , selama engkau belum kawin lagi.
Hukum ini berkenaan dengan si ibu tersebut kalau
kawin lagi dengan laki- laki lain. Tetapi kalau kawin dengan laki-laki yang
masih dekat kekerabatannya dengan anak kecil laki-laki tersebut, seperti paman dari
ayahnya maka hak hadhaananya tidaklah hilang.
Sebab paman itu masih berhak dalam masalah hadhanah. Dan juga karena
hubungannya dan kekerabatannya dengan anak kecil tersebut sehingga dengan begitu akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan
haknya, maka akan terjadilah kerja sama yang sempurna didalam menjagaa si anak
kecil itu, antara si ibu dengan suami yang baru ini.
Berbeda halnya kalau suami barunya itu orang lain.
Sesungguhnya jika laki-laki lain ini mengawini ibu dari anak kecil tadi maka ia
tidak bisa mengasihinya dan tidak dapat memperhatikan kepentingannya dengan
baik. Oleh karenanya nanti dapat mengakibatkan suasana tanpakasih sayang, udara
yang mesra dan keadaan yang dapat menumbuhkan bakat dan pembawaan anak dengan
baik.
7. Merdeka: sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan dengan tuannya,
sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.
Ibnu Qayyim berkata: Tentang syarat-syarat “merdeka”
ini tidaklah ada dalilnya yang menyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga
Imam mazhab sajalah yang menetapkannya. Dan Imam Malik berkata tentang seorang
laki-laki yang merdeka punya anak dari budak perempuannya: “sesungguhnya ibunya
lebih berhak terhadap anaknya selama ibunya tidak dijual. Jika ia dijual maka
hak hadhanahnya berpindah, dan ayahnyalah yang lebih berhak atas anaknya.”
Demikianlah Dan pendapat inilah yang benar.
C.
siapa
yang berhak melaksanakan hadanah
Syarat yang ditentukan untuk melaksanakan hadhanah maka urutan yang berhak menurutyang
dianut oleh kebanyakan ulama adalah :
1. Ibu,
ibunya ibu dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki kedudukan ibu,
kemudian.
2. Ayah,
ibunya ayah dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki tempat ayah.
3. Ibunya
kakaek mealui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya keatas.
4. Ibunya
kakek melalui ayah, dan seterusnya keatas.
5. Saudara-saudara
perempuan ibu.
6. Saudara-saudara
perempuan dari ayah.
Dari urutan yang disebutkan diatas ulama
tidak sepakat dalam keutamaan haknya.bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat
melepaskan haknya, kepada siapa hak hadhanah itu beralih, menjadi pembicaraan
dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat hak hadhanah berpindah kepada
ayah, karena ibu-ibunya merupakan cabang, sedangkan ayah bukan merupakan cabang
daripada haknya. Pendapat kedua dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu
melepaskan haknya maka hak tersebut berpindah kepada ibunya ibu, karena
keduduan ayah dalam hal ini lebih jauh urutannya.
Bila ibu yang melaksanakan hadhanah itu
kawin, suaminya berhak melarangnya untuk menyusukan anaknya itu.kecuali dalam
keadaan terpaksa seperti tidak ditemukan perempuan lain yang dapat diterima oleh
sianak.
D. Hikmah Hadhanah
Adapun hikmah hak memelihara anak
menurut Ali Ahmad Al- Jurjawi dilihat dari 2 segi :
- Tugas laki- laki dalam urusan penghidupan dan
masyarakat berbeda dengan tugas wanita. Perhatian seorang ibu terhadap
anknya lebih tepat dan cocok karena memelihara anaknya keistimewaan
ibu.
- Seorang ibu mempunyai rasa kasih sayang yang
lebih besar terhadap anaknya dari pada seorang ayah. Dan curahan hati
tercurah lebih untuk anaknya.
0 komentar:
Post a Comment
berkomentarlah dengan bijak dan sesuai topik